Berangkat dari kepastian tampak tidak mencapai setengah , memulai dengan keyakinan yang tidak kunjung terisi penuh, tetap kuputuskan untuk memulai languish. Bertenaga cinta yang terasa telah version, sekecil langkah itulah yang mampu membuatku beranjak.....
Pemahaman awal itu, janganlah kembali berulang dipertanyakan, ketika kaki kecil masihen menyeimbangkan menata langkah, untuk berdiri ; itu seolah memaksanya untuk berlari....
Menyewa , mengontrak , meminjam hingga menumpang adalah cara, pilihan yang tidak mengatakan kemutlakan akan kepemilikan, semua nama yang selama dan sejauh ini, adalah setianya kenyataan tanpa dipungkiri untuk melanjutkan setiap langkah kecil walau sejauh apa terkadang menjadi enggan buat kembali mengulang ,
Seberapa banyak dalam jumlah, tiada lalu diukur dengan umur, adanya campur baur melebur tiada tampak oleh penjaga yang mendengkur ; seolah pembiaran yang terlanjur , tidak memilih dan telah menjadi sembarang tempat telah ditabur,... bukankah itu namanya ngawur ...?
Masih beda dengan para pencari ikan , dimana ada tajur walau tidak sembarang sudah dirasa cekungan, kelokan yang yang memberinya waktu mujur. Seperti kemujuranku telah mengenalmu hingga sejauh ini...
😋😗
Tentang Dekat dan Jauhnya Cinta
Cinta tak selalu diukur dari jarak fisik. Kadang, dua hati bisa begitu dekat meski dipisahkan benua dan samudra. Mereka berkomunikasi melalui layar, berbagi tawa dan tangis lewat panggilan video, dan saling menguatkan meski tak bisa saling menyentuh. Jarak menjadi ujian, bukan penghalang. Ia memaksa mereka untuk membangun fondasi hubungan yang kuat, mengandalkan kepercayaan dan kesabaran. Di antara ribuan kilometer yang membentang, mereka menemukan cara untuk tetap terhubung, membuktikan bahwa cinta sejati lebih kuat dari geografi.
Sebaliknya, ada juga cinta yang terasa jauh meski raga berada dalam satu atap. Pasangan yang saling berhadapan di meja makan, namun pikiran mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Percakapan hanya seputar hal-hal praktis, tanpa ada lagi canda atau cerita tentang isi hati. Sentuhan terasa hampa, dan keheningan terasa begitu berat. Kehadiran fisik tidak menjamin kedekatan emosional. Jarak yang paling berbahaya bukanlah jarak antar kota, melainkan jarak yang tercipta di dalam hati, yang membuat dua orang asing dalam rumah yang sama.
Jarak bisa menjadi ironi dalam sebuah hubungan. Saat kita jauh, kita mati-matian berusaha untuk menemukan cara agar bisa dekat. Kita rela menunggu pesan masuk, menghitung menit hingga panggilan video, atau bahkan menabung untuk sebuah tiket pesawat. Kerinduan yang membuncah justru memicu kreativitas dan pengorbanan. Kita belajar menghargai setiap momen, sekecil apa pun, karena kita tahu betapa berharganya saat-saat kebersamaan itu.
Ketika cinta terasa jauh, ia mengajari kita tentang esensi sebuah hubungan. Ia bukan tentang kehadiran, melainkan tentang perhatian. Bukan tentang pertemuan, melainkan tentang perasaan. Hubungan yang berhasil melewati badai jarak adalah bukti bahwa cinta itu hidup, bukan karena kesempatan, melainkan karena pilihan sadar untuk terus memperjuangkannya. Jarak menjadi guru yang keras, yang mengajarkan kita untuk tidak meremehkan apa yang kita miliki.
Jadi, apakah cinta itu dekat atau jauh? Jawabannya ada pada bagaimana kita merawatnya. Cinta yang dekat adalah cinta yang dipupuk dengan komunikasi tulus, kejujuran, dan kehadiran hati, bahkan jika raga berjauhan. Sementara cinta yang jauh adalah cinta yang diabaikan, yang membiarkan jarak emosional merayap masuk, bahkan saat kita duduk berdampingan. Pada akhirnya, yang menentukan kedekatan sejati bukanlah peta, melainkan peta di dalam jiwa kita masing-masing.
